Memeluk Hatiku

MEMELUK HATIKU


Bayangan itu seolah menjadi nyata di hadapanku. Membelai, memeluk, dan menghapus tetes air  mata di pelupuk mataku. Kucoba merangkulnya tetapi bayangan itu tiba-tiba menjauh dariku. Aku tak ingin dia pergi meninggalkanku dalam cengkraman kesendirian ini. Namun, aku tak sanggup memanggilnya untuk kembali.
***
Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki. Kurasakan sentuhan lembut dikeningku. Aku mencoba membuka mataku secara perlahan. Namun, batinku terus bergejolak. Aku takut dan aku benar-benar takut. Aku tak ingin mimpi itu menjelma menjadi nyata.
Aku  memberanikan diri untuk membuka mata. Kulihat seorang wanita berseragam putih berdiri di sisi tempat tidurku. Kesedihan tampak jelas dari guratan raut wajahnya. Entah mengapa mimpi itu terus terbayang di benakku. Kristal-kristal air mataku mulai berjatuhan.
“Aku di mana? Di mana Ibu, Ayah, dan kakak-kakakku?”. Ku mencoba bertanya di selah-selah isak tangisku.
Tak ada jawaban. Wanita ini Cuma menuntunku untuk bangun dari pembaringan dan mengantarkanku ke sebuah kamar. Kulihat wajah-wajah yang sangat aku kenal terbaring di sana. Namun, mereka hanya terbujur kaku di pembaringan. Persendianku seolah rapuh dan tidak mampu lagi menyokong bobot tubuhku. Badanku ambruk dan aku tidak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya.
***
08 April 2012
Hari ini, adalah hari ulang tahunku. Aku seharusnya bahagia. Aku harusya bisa menikmati detik-detik bertambahnya usiaku. Namun, yang aku kini rasakan hanyalah kebencian. Dendamku pada takdir tak pernah memudar sedikit pun.
Kamarku seperti kapal pecah. Namun, aku tidak peduli lagi. Kemarahanku memuncak dan kulemparkan semua barang yang ada di dekatku. Kabut kebencianku kini mulai memenuhi lorong-lorong hatiku. Aku membenci diriku sendiri dan aku membenci hari ini. Hari yang memisahkan aku dengan keluargaku.
Hari itu, tepat setahun yang lalu. Di tanggal yang sama dengan hari ulang tahunku. Aku dan keluargaku pergi berlibur ke suatu tempat. Namun sialnya, di tengah perjalanan terjadi sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa keluargaku.
Kejadian itu tergambar dengan jelas dalam ingatanku. Dadaku mulai sesak oleh kemarahan yang memuncak. Kumaki takdir, angin, langit, pepohonan, dan semuanya. Namun, tak ada jawaban yang kuperoleh. Hanya desahan lembut dari sudut hatiku yang terdalam yang menyuruhku untuk sabar. Tetapi, aku tidak ingin mendengarnya lagi bercoleteh tentang kesabaran. Belasan tahun aku tumbuh menjadi anak yang sabar, tetapi takdir malah memisahkanku dengan orang-orang yang kucintai.
“ Diamlah !! aku capek mendengar semua nasehatmu. Aku sudah berusaha untuk sabar, tetapi semuanya pergi meninggalkanku. Kau juga kini telah berkhianat dariku.” Kataku kepadanya.
“Aku tidak berkhianat. Aku hanya mencoba untuk membuatmu sadar. Tidak usah  marah para takdir.” Jawabnya.
Kututup kupingku dengan bantal. Berharap coletehannya tidak menggangguku lagi. Tetapi, suaranya begitu nyata mengalun di benakku. Aku benar-benar marah. Hatiku yang dulu setia kini mulai mengkhianatiku. Aku kini benar-benar sendiri. Cicak-cicak yang biasanya menemaniku bercakap-cakap juga menghilang dari langit-langit kamarku. Bahkan nyamuk pun tak ingin lagi bernyanyi untukku.
“Apa salahku ? kenapa dunia ini begitu kejam kepadaku ? kenapa ? kenapa ? kenapa ?” Suaraku menggema di sudut-sudut kamar.
“Dunia tidak kejam. Dia hanya memberimu sebuah peringatan.” Hati yang sok tahu itu kembali menasehatiku.
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Kata-katanya berlalu bagai angin yang berhembus. Ingin ku robek-robek mulutnya yang mulai menyudutkanku. Dia kini telah menjadi musuh bagiku.
Ribuan kata terus bergulir dari mulutnya. Aku semakin tersudut. Ku akui ada kebenaran di sana. Aku mencoba mencerna kata-katanya. Tetapi, segera ditepis oleh akalku yang kini dilindungi oleh kemarahan. Tubuhku mulai kelelahan dengan pertengkaran ini. Jantungku memacu dengan cepat. Aku merasa kesulitan untuk bernapas. Aku tidak sanggup lagi dengan semua ini. Aku ingin mengakhiri semuanya.
***
Tangannya mencengkramku dan membawaku bersamanya. Ku lihat hati dan komplotannya menatapku dengan sinis. Mereka tidak ingin aku pergi ke tempat itu. Mereka tidak ingin melihatku bahagia bersama keluargaku. Tetapi, what ever lah. Mereka juga kini bukan temanku lagi.
Aku berjalan bersama dia melintasi dimensi waktu yang berbeda. Di kejauhan ku lihat seluruh keluargaku berkumpul di suatu taman yang sangat indah. Ku lepaskan cengkramannya dan berlari menuju mereka. Tetapi, mereka menolakku. Tumbuhan dan hewan yang juga berada di tempat ini menyuruhku pergi. Hati dan komplotannya yang dari tadi mengikutiku menertawakanku.
“Dasar bodoh. Kenapa kau mau ikut bersamanya, bersama orang yang sangat kau benci dan terus kau caci setiap harinya ?” Hati mulai sok tahu lagi.
“Apa maksud kamu ?” Jawabku.
“Hahaha, aku ini takdir yang sangat kau benci. Tidakkah kau mengenaliku ?” Bayangan itu mulai bersuara.
Aku semakin bingung dan ketakutan. Kemudian mereka semua mendorongku ke suatu tempat. Ku coba meronta tapi kekuatanku tak sanggup untuk melawan mereka semua. Aku pun kembali terkunci dalam kesendirian. Ternyata aku telah salah.
***
Aku mencoba membuka mataku. Kepalaku terasa berat. Bioskop di otakku kembali memutar film tentang apa yang ku alami sebelumnya. Air mataku kembali membasahi bantal. Rasa rindu kembali menyeruak. Tetapi kini ku tak merasa sendiri lagi. Rindu itu kian menggebu. Rindu untuk kembali bersujud di hadapan-Nya yang sudah setahun ini tidak pernah lagi kulakukan. Rindu untuk bercengkrama dengan hatiku untuk berbuat kebaikan.
Penyesalan dan Rindu melebur menjadi satu. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi dan ku basuh tubuhku dengan air wudhu. Kesegaran memenuhi rongga dadaku. Tersungging sebuah senyuman di sudut hatiku. Aku kini telah berdamai dengannya.
Setelah selesai shalat, aku kembali menangis. Tetapi, tidak lagi ada benci dan kemarahan yang membelengguku. Hanya rasa penyesalan yang ada. Aku kembali memeluk hatiku yang dulu kucampakkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

For My Best Friend

Sosok Imaginasi

Tangisan di penghujung Siang